isabella fawzi, fib ui, jurusan satra inggris

isabella fawzi, fib ui, jurusan satra inggris
isabella fawzi, fib ui, jurusan satra inggris

isabella fawzi, fib ui, jurusan satra inggris

isabella fawzi, fib ui, jurusan satra inggris
isabella fawzi, fib ui, jurusan satra inggris

Wisuda di FIB, UI, IsabellaFawzi anak Ikang Fawzi & Marissa Haque

Wisuda di FIB, UI, IsabellaFawzi anak Ikang Fawzi & Marissa Haque
Wisuda di FIB, UI, IsabellaFawzi anak Ikang Fawzi & Marissa Haque

Ikang Fawzi, Isabella Fawzi dan Marissa Haque di RELC, Singapura, 2007

Ikang Fawzi, Isabella Fawzi dan Marissa Haque di RELC, Singapura, 2007
Kenangan Kasih Serta Dorongan Ayah Ikang & Ibu Icha, Ikang Fawzi, Isabella Fawzi dan Marissa Haque di RELC, Singapura, 2007

Wisuda FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia) Isabella Fawzi, 2010

Wisuda FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia) Isabella Fawzi, 2010
Wisuda FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia) Isabella Fawzi, 2010

FIB UI, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Isabella Fawzi

FIB UI, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Isabella Fawzi
FIB UI, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Isabella Fawzi

Miss Bella Fawzi Guru Story Telling Bahasa Inggris

Miss Bella Fawzi Guru Story Telling Bahasa Inggris
Miss Bella Fawzi Guru Story Telling Bahasa Inggris

The Story of Miss Bella, Isabella Muliawati Fawzi, 2009

The Story of Miss Bella, Isabella Muliawati Fawzi, 2009
The Story of Miss Bella, Isabella Muliawati Fawzi, 2009

Isabella Fawzi dari FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia)

Isabella Fawzi dari FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia)
Isabella Fawzi dari FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia)Jurusan Sastra Inggris

Rabu, 17 Agustus 2011

Kehidupan Silaturahim Kami dalam Jumpa Keluarga Besar Christian Gonzales: Marissa Haque & Ikang Fawzi


Liputan6.com, Jakarta:
Sumber (1):  http://tv.liputan6.com/main/read/8/1061798/0/ketika-para-selebritis-saling-mengagumi

Sumber (2):  http://id.berita.yahoo.com/foto/ketika-p…
13th Agustus 2011, posted in My Family Story

ikang-fawzi-gonzales-marissa-haque-eva-siregar-golzales-isabela-fawzi
Diam-diam istri pesepakbola nasional Christian Gonzales, Eva Gonzales, mengagumi pasangan artis senior Ikang Fawzi dan Marissa Haque. Eva pun mengundang artis idolanya itu untuk menghadiri acara ulang tahun putri pertamanya, Amanda Gonzales, yang ke-17. Eva mengaku tidak menyangka jika pasangan yang kini lebih aktif bergelut di dunia politik itu mau hadir di pesta ulang tahun anaknya.

“Ini idola saya sama suami saya. Ini bener-bener reunian dari saya kecil mereka bener-bener udah di langit. Jadi mana mungkin kenal sama saya,” puji Eva Gonzales kepada pasangan yang kini masih tampak mesra, seperti ditayangkan Status Selebritis di SCTV, Sabtu (13/8).

Ternyata, Ikang dan Marissa juga nge-fans dengan perfoma Christian Gonzales di lapangan. Baik Ikang maupun Marissa pun ikut memuji idolanya itu. “Kita tuh seneng banget sama Christian Gonzales apalagi waktu kemaren membela Indonesia. Di saat Indonesia tengah lesuh, Gonzales mampu mengangkat kembali nama timnas Indonesia,” puji pria yang bernama lengkap Ahmad Zulfikar Fawzi.(APY/ANS)

“Keluarga Gonzales Timnas yang Sangat Ramah: Marissa Haque & Ikang Fawzi”

Sumber:http://chikitafawzi.blogdetik.com/2011/08/13/keluarga-gonzales-timnas-yang-sangat-ramah-marissa-haque-ikang-fawzi/

Kehidupan Silaturahim Kami dalam Jumpa Keluarga Besar Christian Gonzales: Marissa Haque & Ikang Fawzi

Selasa, 16 Agustus 2011

"Marissa Haque & Ikang Fawzi: Upaya Membuat Nyaman Hati Pasangan"


Disaat kita memberi sesungguhnya karena kita sudah banyak menerima!

Kuncinya semua kembali kepada pasangan kita. Sejauh mana pasangan suami atau istri dapat saling mendukung satu dengan lainnya, sehingga mampu selalu membuat nyaman hati pasangannya.


cinta_kami_selamanya_sampai_mati-ikang-fawzi-dan-marissa-haque-1Pasangan suami istri sejati, akan berada dalam irama harmoni untuk saling memahami serta  selalu mendukung. Intinya adalah, komunikasi produktif di antara keduanya dalam perkawinan. Cirinya adalah ketika mata hati serasa selalu terkait satu dengan lainnya. Seperti itu sejujurnya yang kami rasakan selama 25 tahun masa pernikahan kami.

Kami berdua--Ikang Fawzi dan Marissa Haque--memang bukanlah pasangan yang luar biasa sempurna. Namun kami bertekad agar kesepakatan yang kami buat sejak awal dapat kami wujudkan dalam kenyataan sejarah pernikahan kami, yaitu: "... untuk selalu satu suami dan satu istri sampai mati."

Insya Allah... sejujurnya demikian, dan selamanya demikian. Sampai ajal menjemput kami, karena setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati...

May Allah always bless our marriage... amiiin...

Catatan: Avatar Blog Ini dari iklan Oil of Olay

Sumber: http://ikangdanmarissa.blogdetik.com/


"Marissa Haque & Ikang Fawzi: Upaya Membuat Nyaman Hati Pasangan"

Minggu, 14 Agustus 2011

"BIL (Brother in Law) Lovers dan Musikalisasi Sastra: dalam Marissa Haque Fawzi"



"BIL (Brother in Law) Lovers: dalam Marissa Haque Fawzi"
Yuk gabung dengan BIL Lovers (the Brother in Law) dengan Ikang Fawzi, Ekki Soekarno, dan Gilang Ramadhan.
Kindly please enter this address mentioned, as follow: http://www.youtube.com/watch?v​=_sALdI_Lwwc,  
 Regards, Marissa Haque Fawzi

Rabu, 15 Juni 2011

Beberapa Buku Satra Islam Indonesia sebagai 'Sarapan Pagi' Berbuah Jilbab bagi Kiki: Marissa Haque Fawzi

Chikita Fawzi, Ikang Fawzi dan Hadiah Kamera dari Ibu Marissa Haque, Screen shot 2011-06-16 at 12.18.20 AM

Fabiayyi ala'irobbi kumma tukadzdzibaaan...
ni'mat mana lagi yang akan engkau dustakan wahai manusia... Tidak ada Ya Allaaah...tidak adaaaa...
"Chikita Kami yang Kini Berjilbab di Malaysia: Marissa Haque & Ikang Fawzi"
Sumber:http://marissahaque-kiki-inspirasi.blogspot.com/

Jumat, 10 Juni 2011

Tulisan Lama Ibuku Marissa Haque untuk Sekjennya di MES (Masyarakat Ekonomi Syariah): Miss Bella Fawzi

Ikan Laut Tak Selalu Ikan Asin

mcu-of-marissa-haque-duta-mes-buku-syakir-sula-marketing-bahlul13


 Tulisan ini saya persembahkan untuk sahabat dan salah seorang Guru Ekonomi Syariahku Mas Syakir Sula yang saya ibaratkan sebagai ikan berenang dilaut namun tidak serta merta menjadi ikan asin.

Marketing Bahlul, demikian nama judul dari sebuah buku saku hasil karya Mas Syakir Sula yang terakhir terbitan Raja Grafindo Persada pada akhir tahun 2008 lalu. Rasanya tak berlebihan bila saya menganjurkan para pembaca blog saya kali ini untuk dapat memilikinya dijaringan toko buku terdekat dimanapun anda berada diseluruh Indonesia. Kenapa saya ingin sekali anda sekalian membaca buku setebal 370 halaman ini? Pertimbangan saya antara lain adalah sebagai berikut:

Pertama, ketika dunia dimana kita bertempat tinggal sekarang ini sudah terasa sangat bergetah, diantara rasa keputus asaan tempat bergantung satu-satunya hanyalah kepada The One and The All Mighty semata, Allah SWT Jalal Jalalu; Kedua, disaat kita sangat bersedih ternyata sebenarnya kita tidak pernah benar-benar sendirian karena ada Allah SWT bersama kita dan bekerja melalui ion-ion diudara yang merupakan kamera-Nya. Dan Ia lebih dekat dari urat leher kita; Ketiga, didalam menjalani kehidupan ini menjadi khalifatullah, kita tidak harus terjerumus kedalam sebuah sistem maksiat yang sangat jelas dilarang didalam Al Quran dan dijelaskan didalam Al Hadist. Buku berjudul ”Marketing Bahlul” tersebut diatas mengajarkan memberi penjelasan tanpa mengajari kita bagaimana ibarat ikan berenang didalam lautan tapi tidak harus menjadi ikan asin yang tergarami oleh asinnya air laut.

Diminta untuk menjadi salah seorang endorser pada halaman belakang buku tersebut sekaligus menjadi salah seorang pembicara utama bersanding dengan para Kekasih Allah penggerak Sistem Ekonomi Syariah sekelas Mas Adiwarman, membuat saya full konsentrasi menjalankan fungsi sebagai Duta MES (Masyarakat Ekonomi Syariah) didalam menjelaskan kebaikan Islam rahmatan lil alamin.

Islamophobia dinegeri barat memberikan peluang bagi ummat Islam untuk menunjukkan bahwa bukan seperti itu image negatif yang diajarkan untuk kita semua ummat Islam diseluruh dunia. Rasa keterpanggilan yang tinggi membuat saya yang terlahir sebagai Islam karena dilahirkan dari kedua orang tua yang Islam mencari makna hakiki Islam sebanyak-banyaknya. Berlalunya usia seakan sedang lari sprint dan marathon, membuat semangat saya seakan tidak ingin terkalahkan oleh usia didalam mengejar ilmu Allah yang diturunkan melalui wahyu terakhir kepada Rasulullah Muhammad SAW.

Didalam kegigihan mencari ilmu Allah sebanyak-banyaknya inilah saya dipertemukan-Nya dengan pada Kekasih-Nya yang lain. Ibarat ketok bambu permainan desa disaat saya masih tinggal di Palembang Sumatra Selatan saat kecil dulu, dari mulut kemulut pertalian silaturahim ini menjadi semakin panjang saja barisannya. Tentu rasa bahagia mendalam serta rasa syukur tak berkesudahan menjadi semakin sering terucapkan. Rasanya Allah SWT tak kepalang tanggung didalam mengijabah doa ummat yang aniaya seperti saya ini. Karena beberapa kepercayaan terkait dengan gerakan sosialisasi ekonomi syariah ini kemudian berkembang luas menjadi persaudaraan sejati didalam Islamic Brotherhood dan Sisterhood di Indonesia. Didalam gambar diatas juga tampak Ratih Sanggarwati yang turut terundang untuk semakin memperluas ikatan persaudaraan syariah ini.

Membahas isi dari buku Mas Syakir Sula Marketing Bahlul, berisi bagaimana sebagai bussines person dikota besar seperti Jakarta dapat melakukan kegiatan marketingnya tanpa harus terjebak dengan langkah-langkah maksiat yang selama ini dikenal sebagai bisnis bukan sekedar uang belaka namun termasuk servis maksiat didalamnya. Metode yang dipakai Mas Syakir adalah metode PAR (Participatory Action Research), dimana sang penulis terlibat aktif didalamnya. Bila dalam metode PRA sebelum ini periset terlibat sebagai salah seorang pelakunya, maka hebatnya Mas Syakir mampu memberi jarak melibatkan diri tanpa harus menjadi terlibat. Luar biasa!

Cerita demi cerita seakan tak mampu saya tahan untuk bersegera diselesaikan. Buku tebal sedang tersebut habis saya lahap didalam dua hari saja, alhamdulillah. Pendekatan undercover terasa gurih dan crispy seperti renyahnya keripik singkong buatan Kota Cimahi, Jabar 1 (Dapil Pileg saya dari PPP) yang menemani saya sembari membaca buku tersebut. Hanya saja ada yang sedikit menggangu ketika tokoh-tokoh didalamnya kenapa ada yang harus disertakan initial namanya, sehingga saya khawatir bila kelak Mas Syakir Sula harus berhadapan dengan gugatan delik pidana pencemaran nama baik dalam Pasal 310 dan 311 KUHP terkait dengan pencemaran nama baik serta perbuatan tidak menyenangkan. Namun semoga saja tidak terjadi, karena siapa juga kan yang faham dengan kehidupan dunia papan atas yang eksklusif berikut para pelakunya selama ini? Apalagi didalam buku tersebut banyak diselingi humor ringan namun sangat menggelitik, sehingga kita sebagai pembaca tidak merasa digurui.

Selamat berkarya lagi dalam waktu dekat wahai Kekasih Allah Mas Syakir Sula saudaraku… All the best ya? Allahu Akbar!

Sumber:http://marissahaque.blogdetik.com

Kesukaan Menulis Menurun dari Ibuku Marissa Haque: Isabella Fawzi

Buku Kedua Marissa Haque diterbitkan oleh PT. ROSDA KARYA Bandung

Ibuku Marissa Haque sangat kental hati sosialnya. Bukan sekedar kepada kedua anak knadungnya, namun juga kepada beberapa anak kurang beruntung lainnya di dunia fana ini.  Seperti apa yang dilakukannya kepada anak-anak tunarungu di Indonesia dalam riset pasca sarjananya dari Unika Atmajaya sekitar belasan tahun lalu. Jadilah sebuah buku dengan judul "Bahasa Kasih"

Ayah Ikang & Ibu Icha Berhemat untuk Mengirim Diriku ke Singapura; Miss Bella Fawzi

 Menunda kesenangan pribadi demi kedua putrinya, itulah kehebatan Ayahku Ikang Fawzi & Ibuku Marissa Haque yang akan dicatat oleh malaikat dan menjadi tiket keduanya menuju surga Al Jannah...insya Allah...

Photo: Wisuda di FIB, UI, IsabellaFawzi anak Ikang Fawzi & Marissa Haque

Kenagan Tulisan Ibu Icha tentang Film untuk Media di AS: Isabella Fawzi

World Paper, New York, USA
June, 2001

 By. Marissa Haque Fawzi, An Indonesia Actress, is in Residence at Ohio University 

Indonesia as a country among many countries in the world, cannot escape of the effect of globalization. More specially, the Indonesia film industry is influenced and shaped by the cultures and trends of many other nations.

Among many countries in the world, cannot escape of the effect of globalization. More specially, the Indonesia film industry is influenced and shaped by the cultures and trends of many other nations. This assimilation necessary and positive for progress and increased quality as long as an individual maintains his/ her own touch, so to speak. This process is guaranteed by the fact that our world grows smaller everyday and the boundaries that once existed are no more.The father of Indonesia film, Mr. Haji Usmar Ismail, was the first Indonesia artist to graduate from the School of Film at the University of California Los Angles as early as the 1940s. Generations to follow in the 1970’s were strongly predisposed to Russian production style and technique with Indonesian graduate from Moscow University such as Syumandjaja and Amy Priono. Many artists to follow, Producers and Directors are products of Indonesia education and
training. Their work, also distinguished, is colored by local wit and wisdom. A result of their efforts has been “Edutainment” or educational entertainment for the Indonesian citizen. The only trouble with this is seen in the extremely small ratio of these artists in relation to the population of Indonesia, which far exceeds 200 million. 

If the love of money is the root of all evil it has also been the demise of the film industry in Indonesia. Many Directors viewed the production of movies as a monetary printing press. The typical Indonesian film left nothing for the viewing public; there was no moral message and no real meaning. By the end of 1980s the film industry has stagnated and come to screeching halt. The Indonesia government further stifled the industry’s creativity and quality, and the differences from one film to the next became almost impossible to discern. It was a frustrating time for the movie-going public and even exasperating for those production teams that sought to create. In 1990s gave us Garin Nugroho. 

As a young man, he graduated from University of Indonesia with a degree in Law and attended Indonesia’s Institut Kesenian Jakarta (Indonesian Art Institute). Garin Nugroho was determined to create new standard, and in the mid-1990s he began work. Nugroho presented an Eastern European style of production. Many Indonesian viewers did not understand this style of production and found the storylines difficult to follow, but his works have been honored (and have placed) at almost every international film festivals in which those have appeared. Toward the end of 1999, a group of young Indonesian film graduates that, to date, do not wish to be identified with other movie production teams, came together to produce. They represent the new techno generation, seeking something new and different from all who came before them, and it is known to Indonesians today as the movie Kuldesak. This independent production team used a grassroots style marketing strategy throughout production. The film smacks of Quentin Tarantino. The theme song from thia movie was also honored by MTV at the MTV awards 2000 in New York. The year 2000 was phenomenon for Rivai Riza (Film Director), Mira Lesmana and Triawan Munaf (Co Producers) with their award-winning production Petualangan Sherina or the Adventures of Sherina. The British honored this production with the presentation of the British Chavening Award Scholarship to Riza. This is only logical because Riza finished his Master of Arts in screenwriting at a British Institution in 1999. Riza ia rich with British style. What do we see in the future of the Indonesian film industry? What style do we hope will prevail? There are so many possibilities, but that which cannot be denied and is clear to even those who would close
their eyes is that American films are shown on every channel of Indonesian television and fill Indonesian theatres. 

In this lies an undeniable answer. We are also aware that American film is a collection of assimilations from across the world. Thus we come full circle of globalization and interdependent world in which we live. We will, each and every one of us, learn from all of those around us without exception, if we hope to progress. This is a continual process that will go on for as long as we breathe.

Wisudaku dari FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia): Isabella Fawzi 2010

Wisudaku dari FIB UI (Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia) pada awal tahun 2010 kelihatannya berhasil membahagiakan kedua orang tuaku. Terutama Ibu Icha... tapi Ayah Ikang juga secara diam-diam menyatakan kebahagiaannya dengan caranya sendiri... hehehe... I love you Yah...Bu...

Mama Aya (Soraya Haque) Juga Menulis Buku: Isabella Fawzi

Jumat, 10 Juni 2011


Menulis dan berbagi kasih adalah salah satu ciri dalam keluarga ibuku Marissa Haque. Dan karya buku mama Soraya Haque soekarno adik ibuku Marissa Haque adalah yang tertampang di atas tulisanku ini.

"AMINAH" Buku Karya Pertamaku: Marissa Haque Fawzi



"Aminah"


Oleh: Marissa Haque Fawzi
 
Diterbitkan oleh PT. Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999

Aminah adalah seorang gadis kecil berjilbab. Ia hidup didaerah kumuh yang berdebu ditepi pantai Sampur, Jakarta.

Rumah-rumah disana terbuat dari papan dan kardus bekas. Sampah menggunung. Kaleng-kaleng bekas yang sudah berkarat bertebaran disana-sini. Dicelah-celah jendela, jemuran-jemuran bergantungan menunggu kering. Sebagian lagi bergantungan diatas tali-tali yang terbentang.

Aminah tinggal bersama ibunya. Setiap hari setelah selesai sholat Subuh, mereka menerima cucian yang dititipkan oleh keluarga-keluarga kaya dari luar lingkungan mereka. 

Sehabis menjemur semua pakaian tersebut, Aminah pergi bermain-main kepantai didekat rumahnya. Biasanya ia bermain diantara karang-karang diatas pasir. Terkadang beberpa anak kecil lainnya bermain bersamanya. Pada kesempatan lain, ia lebih suka sendirian. Berdiam diri memandang gelombang pasang yang berkejaran menerpa karang. Dibiarkannya desir angin memainkan ujung-ujung jilbabnya.

Malam harinya Aminah berjualan kembang. Aminah mengelompokkan kembang tersebut sesuai warnanya; mulai dari warna merah muda, jingga, putih, dan ungu. Bersama Halimah sahabatnya mereka menjual bunga-bunga tersebut dijalan dekat lampu merah. Disana banyak anak-anak sebayanya bermain-main.

Malam itu tak ada bulan. Bintangpun enggan menampakka dirinya. Langit hitam pekat tertutup awan. Walaupun malam terasa panas, kedua anak itu menggigil kedinginan sampai ketulang sumsum.
Aminah dan Halimah berjalan menjajakan kembangnya. Mereka sampai disebuah jalan yang penuh dengan lampu beraneka warna. Hingar bingar kendaraan bermotor dan orang-orang yang berlalu lalang.

Tercium bau garam laut bercampur bau polusi yang berasal dari knalpot kendaraan-kendaraan bermotor yang bunyinya memekakkan telinga.

Aminah dan Halimah berjalan dianata mobil-mobil. Menawarkan kembang kepada para pengendara. Ketika bunyi klakson nyaring menyentak, Aminah dan Halimah buru-buru menyingkir.

Seorang wanita tertarik membeli lima tangkai kembang. Aminah dan Halimah tidak dapat menatap wajahnya, karena hanya tangannya saja yang terjulur keluar melalui celah jendela mobil. Wanita itu memberikan uang lima ribu rupiah.

Ketika lampu berubah warna menjadi hijau, mereka berdua kembali duduk sambil menatap kendaraan-kendaraan yang melaju kencang. Lampu-lampu jalan yang bersinar sangat terang, membuat bayangan pohon disekitarnya menjadi semakin dalam. Angin laut bertiup sepoi-sepoi. Udara makin dingin. Malam semakin larut.

Tiba-tiba terdengar bunyi tangisan keras yang menimpali bunyi kendaraan yang berlalu lalang. Aminah tahu siapa yang menangis. Segera didatanginya suara itu.

Seorang anak lelaki menggeliat diatas pangkuan ibunya. Sang ibu menepuk-nepuk punggung sang bocah sambil bersenandung lirih sampai sang bocah tertidur.

Aminah melihat kacang rebus jualan si ibu masih menggunung, belum laku. Ah, kasihan sekali. “Apa khabar Aminah? Banyak laku jualanmu?”, sapa ibu penjual kacang rebus itu. Namanya Ibu Rimpi. “Baru sedikit,” jawab Aminah.

“Anakku ini menangis terus sepanjang hari. Tapi kami tak dapat pulang dulu krtumah kalau belum dapat uang. Lihat jualanku hari ini masih sangat banyak tersisa.” Senyum ibu Rimpi terlihat sangat getir sembari menatap wajah-wajah cilik dihadapannya yang manis, jujur, dan polos serta mempunyai kulit yang halus, mata yang bening, dan senyum yang tanpa beban.

Tiba-tiba anak lelakinya menangis lagi. Maka tahulah Aminah dan Halimah bahwa anak lelaki tersebut kelaparan dan kedinginan.

Dengan uang lima ribu rupiah hasil penjualan mereka malam itu, Aminah dan Halimah bergegas membeli makanan dan minuman hangat di sebuah warung dipinggir jalan dekat tempat mereka mangkal. Uang sebanyak itu cukup untuk membeli empat gelas teh manis dan lima potong pisang rebus. “Ah, betapa mahalnya harga makana sekarang ini,” gumam Aminah.

Aminah dan Halimah membawakan makanan dan minuman itu ketempat Ibu Rimpi dan anakknya. Mereka berempat melahapnya dengan nikmat.

Tiba-tiba Aminah merasakan perutnya sakit bukan alang kepalang. “Ya Allah…apa yang terjadi dengan diriku ini?”, gumamnya. Halimah, Ibu Rimpi dan anak lelakinyapun terlihat kesakitan. Mereka semua limbung dan jatuh ketanah.

Tiba-tiba dunia terasa semakin kelam dari malam sesungguhnya. Aminah tak mampu lagi bernafas. Namun ia masih berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dalam lemahnya ia berdoa: “La ilaha Illa anta subhanaka inni kuntu minadz dzalimiin.” Yang artinya ‘Maha suci Engkau, Maha Mulia Engkau, hamba ini seorang aniaya’ (doa Nabi Yunus ketika diperut ikan Paus). Tidak ada tempat lain untuk berlindung serta memohon pertolongan kecuali kepada-Nya.

Aminah keracunan makanan. Semua terjadi akibat pabrik-pabrik yang tak bertanggung jawab membuang limbah di Teluk Jakarta, dilokasi Aminah didaerah Sampur. Lalat-lalat berterbangan diparit-parit dan jamban-jamban dekat rumahnya. Menghinggapi makanan dan minuman yang dibelinya, meninggalkan racun dan kotorannya disana.

Tiba-tiba tercium bau semerbak, wangi sekali. Langit kelam tiba-tiba menjadi terang. “Apa yang terjadi? Dimanakah aku?” Aminah kebingungan. “Apa yang harus aku lakukan?”

Desir ombak terdengar. Semakin lama semakin keras. Kaki-kaki mungil Aminah serasa menginjak air laut ditepi pantai. Anginpun seakan membisikkan sesuatu ditelinganya.



Aminahpun teringat akan kembang yang masih digenggamnya. Dipandanginya sesaat, sampai tiba-tiba terbersit sesuatu didalam pikirannya. Dilemparkannya kembang-kembang itu dilangit.


Langit pekat berganti terang, cahaya putih bersinar, membuat bintang-bintang tampak terang benderang. Aminah melihat orang-orang berhenti bercakap-cakap. Tak ada lagi deru kendaraan yang membisingkan. Wajah orang-orang terlihat bersih dan bersinar, menebar senyum dimana-mana. Betapa tenteram, betapa indah.


Perlahan Aminah berjalan meyusuri tepian pantai, pulang kerumah. Sendirian, terlepas dari kerumunan orang banyak. Mengikuti arah sinar, nun didepan sana. Samar-samar terlihat bayangan ayahnya. Tapi Aminah merasa tak pasti. Ia terus membaca shalawat. Mengayuhkan kaki kecilnya, ia ingin menemui ibunya dirumah.


Aminah terus berjalan dibawah kaki langit yang penuh rahasia. Ditatapnya taburan cahaya yang bersinar. Bintang-bintang nun jauh disana adalah miliknya.


***

"Supernova" Karya Dewi Dee Lestari


 "Supernova" Karya Dewi Dee Lestari, setelah itu dua sambungannya dalam trilogipun habis saya baca. Hayooo... siapakah lagi artis Indoesia mumpuni di dalam hal penulisan? Semoga semakin banyak ya?

Sumber: http://marissahaque-buku-inspirasi.blogspot.com/

Budaya Menulis Keluarga Ikang Fawzi: Marissa Haque

Baru kusadari beberapa hari terakhir ini ketika seorang teman yang dekat di hatiku dari FH UGM mengirimiku sms yang berbunyi: "Mbak Icha sayang...kelihatannya para alumni dari Unika Atmajaya Jakarta itu punya ciri yang sama deh yaitu suka menulis!"

Hhmmm...iya juga ya?


Namun saya menyukai dunia tulis-menulis jauh sebelum menapaki kaki mengambil S2 ku yang pertama di kampus tersebut. Tapi....memang, setelah gabung dalam pembelajaran di kampus ini kemampuan dan kesenanganku menulis menjadi semakin terasah. Khususnya karena Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan di sini terkenal salah satu yang terbaik di Indonesia, sayapun mengambil S2 dari jurusan LTBI singkatan dari Linguistik Terapan Bahasa Inggris.

Tak hanya diriku Dari LTBI, ternyata adik kelasku dari FE (Fakultas Ekonomi) bernama Angelina Sondakh jua sangat produksitf sekarang dalam dunia penulisa buku. Memang banyak yang memcingkan mata ketika tulisannya melulu soal keluarga dan dirinya. Tapi saya pikir mereka yang sinis itu hanya iri kepada Angie yang cerdas serta produktif!

Iri sebenarnya hanyalah pertanda dari tak mampu...hehe... Jadi, kalau mereka iri jawabannya sebenarnya hanya satu yaitu "menulis juga dong!" Beradu karya melalui budaya menulis pasti akan positif. Daya nalar serta kreasi sportif pasti akan mengemuka, dan dampaknya akan menepis hal negatif lainnya. Sehingga tanpa ragu-ragu saya berani mengajak anda semua untuk bergabung bersama dalam dunia positif yang saya sekeluarga sukai, yaitu: "Ayo Memulis!"


"Budaya Menulis Alumni Unika Atmajaya Jakarta: Marissa Haque Fawzi"

Sabtu, 04 Juni 2011

Bella Fawzi Sulung Kami Cukup Lancar Berbahasa Mandarin: Marissa Haque & Ikang Fawzi


Cantiknya Bella Fawzi, Siaran di Global TV dengan Cheongsam, May 2011

Bella Fawzi Sulung Kami Cukup Lancar Berbahasa Mandarin

Jurusannya sewaktu kuliah di FIB UI adalah Sastra Inggris, namun Bella memang sangat berbakat bahasa, dia masih mengambil mata kuliah pilihan Bahasa China atau Mandarin atau Sinologi disebutnya. Kami berdua sering tersenyum sendiri menyaksikan betapa 'lahap'nya Bella mengunyah buku-buku tentang budaya Cina kuno maupun modern. Gaya busana serta kehidupan sehari-hari mereka.

Jumat, 03 Juni 2011

Tulisan Ibu Icha tentang Film untuk Media di AS: Isabella Fawzi

 
World Paper, New York, USA
June, 2001

"Indonesia’s Cinematic Art Stumble and Surge:
Marissa Haque Fawzi"

 By. Marissa Haque Fawzi, An Indonesia Actress, is in Residence at Ohio University 
Indonesia as a country among many countries in the world, cannot escape of the effect of globalization. More specially, the Indonesia film industry is influenced and shaped by the cultures and trends of many other nations.


Among many countries in the world, cannot escape of the effect of globalization. More specially, the Indonesia film industry is influenced and shaped by the cultures and trends of many other nations. This assimilation necessary and positive for progress and increased quality as long as an individual maintains his/ her own touch, so to speak. This process is guaranteed by the fact that our world grows smaller everyday and the boundaries that once existed are no more.The father of Indonesia film, Mr. Haji Usmar Ismail, was the first Indonesia artist to graduate from the School of Film at the University of California Los Angles as early as the 1940s. Generations to follow in the 1970’s were strongly predisposed to Russian production style and technique with Indonesian graduate from Moscow University such as Syumandjaja and Amy Priono. Many artists to follow, Producers and Directors are products of Indonesia education and training. Their work, also distinguished, is colored by local wit and wisdom. A result of their efforts has been “Edutainment” or educational entertainment for the Indonesian citizen. The only trouble with this is seen in the extremely small ratio of these artists in relation to the population of Indonesia, which far exceeds 200 million. 

If the love of money is the root of all evil it has also been the demise of the film industry in Indonesia. Many Directors viewed the production of movies as a monetary printing press. The typical Indonesian film left nothing for the viewing public; there was no moral message and no real meaning. By the end of 1980s the film industry has stagnated and come to screeching halt. The Indonesia government further stifled the industry’s creativity and quality, and the differences from one film to the next became almost impossible to discern. It was a frustrating time for the movie-going public and even exasperating for those production teams that sought to create. In 1990s gave us Garin Nugroho. 

As a young man, he graduated from University of Indonesia with a degree in Law and attended Indonesia’s Institut Kesenian Jakarta (Indonesian Art Institute). Garin Nugroho was determined to create new standard, and in the mid-1990s he began work. Nugroho presented an Eastern European style of production. Many Indonesian viewers did not understand this style of production and found the storylines difficult to follow, but his works have been honored (and have placed) at almost every international film festivals in which those have appeared. Toward the end of 1999, a group of young Indonesian film graduates that, to date, do not wish to be identified with other movie production teams, came together to produce. They represent the new techno generation, seeking something new and different from all who came before them, and it is known to Indonesians today as the movie Kuldesak. 

This independent production team used a grassroots style marketing strategy throughout production. The film smacks of Quentin Tarantino. The theme song from thia movie was also honored by MTV at the MTV awards 2000 in New York. The year 2000 was phenomenon for Rivai Riza (Film Director), Mira Lesmana and Triawan Munaf (Co Producers) with their award-winning production Petualangan Sherina or the Adventures of Sherina. The British honored this production with the presentation of the British Chavening Award Scholarship to Riza. This is only logical because Riza finished his Master of Arts in screenwriting at a British Institution in 1999. Riza ia rich with British style. What do we see in the future of the Indonesian film industry? What style do we hope will prevail? There are so many possibilities, but that which cannot be denied and is clear to even those who would close their eyes is that American films are shown on every channel of Indonesian television and fill Indonesian theatres. 

In this lies an undeniable answer. We are also aware that American film is a collection of assimilations from across the world. Thus we come full circle of globalization and interdependent world in which we live. We will, each and every one of us, learn from all of those around us without exception, if we hope to progress. This is a continual process that will go on for as long as we breathe.



Rabu, 01 Juni 2011

Story Telling dalam Kehidupan Kami Masa Kecil: Bella Fawzi & Kiki Fawzi

Tumbuh kembang dan hidup bersama story telling. Terimakasih banyak Bu... Opa...Eyang Ti...

Ikang Fawzi, Isabella Fawzi dan Marissa Haque di RELC, Singapura, 2007

Ibu Icha dan Ayah Ikang total dalam mendukung aku menguasai Bahasa dan Satra Inggris. Aku dikirim ke RELC Singapura pada tahun 2007 lalu.

Bella Fawzi Sastrawati Kami: Marissa Haque & Ikang Fawzi

Jumat, 10 Juli 2009


The Story of Miss Bella Fawzi


Berawal dari Buku Cergam Bilingual

Sejak kecil ibuku Marissa Haque rajin menjejali aku dan adikku – kami hanya berdua perempuan semua (Chikita Fawzi namanya) – dengan berbagai buku bilingual (dwi bahasa Indonesia-Inggris). Kebetulan disaat itu Ibu Icha (demikian nama panggilan kesayangan kami untuknya) sedang menyelesaikan pendidikan master pertamanya di Universitas Katolik Atmajaya Jaya dengan jurusan Psiko-linguistik dengan Kekhususan Bahasa Inggris untuk Pendidikan Anak-anak Cacat/Tuna-rungu. Disaat itu aku dan adikku sangat ingat bagaimana Ibu Icha menabung setiap sepluhan ribu honor main film-nya serta menjadi model foto majalah serta iklan yang kemudian menjadi sisa anggaran belanja dapur rumah kami agar dapat membeli multi-vitamin dan minyak ikan Scotts Emoltion serta buku cergam dua bahasa. Seingatku pula, yang paling sering dibawa pulang buku-buku terbitan Mizan Publisher, Bandung. Bahkan ada tokoh kartun seekor kucing kecil cerdas dan jenaka bernama Si Mio yang tak pernah kulupakan coretan buah karya Kak Andi Yudha sang ilustratornya.

Puisi Awal Temuan Bunda Neno Warisman
Setiap pertemuan dengan banyak teman-temannya ada yang selalu kuingat dari Ibu Icha adalah selalu bercerita membanggakan salah seorang kawan karibnya yang bernama Neno Warisman – seorang aktivis pendidikan dunia anak yang sekaligus penyanyi terkenal itu. Ibu Icha selalu menyatakan bahwa tanpa temuan Bunda Neno atas puisi karyaku didalam serbet kertas untuk tamu itu disalah satu tong sampah kering didapur listriknya, Ibu Icha tidak mungkin dapat mengetahui bakat keberbahasaanku. Bahkan Ibu Icha selalu mendoakan agar disuatu saat setelah dewasa kelak aku mampu actual dibidang Seni Sastra dan Bahasa termasuk dunia ajar-mengajar terkait dengan languages. Secara bercana Ayah Ikang dan Mama Uttie sering ‘mengolok’ sayang agar kelak aku dapat kesempatan memenangkan hadiah Nobel dibidang Sastra untuk Indonesia…

Kuliah di FIB-Universitas IndonesiaMenjadi mahasiswi di Universitas Indonesia adalah mimpi besarku saat duduk dibangku SMU Bhakti Mulia, Jakarta Selatan. Aku melihat Ayah Ikang Fawzi-ku tercinta sangat dibanggakan kedua orangtuanya disaat masih hidup karena sekeluarga besarnya sebagian besar alumni UI. Ayah Ikang sendiri adalah alumni FISIP-UI jurusan Administrasi Niaga, Uwak Ade Fawzi lulusan Fakultas Teknik Arsitektur-UI, dan Bi Didang adalah lulusan Fakultas Psikologi-UI, hanya Mama Uttie kakak tertua Ayah Ikang yang lulusan Akademi Sekretaris di Tokyo, Jepang disaat mereka tinggal di Negeri Sakura tersebut. Walau Mama Uttie Tangkau-Fawzi bukan lulusan UI, namun kemampuan Bahasa Jepang dan Perancis-nya luar biasa anggun serta lancar dimana sejak saat kecil aku selalu terpesona menyaksikannya. Ibu Icha menyatakannya sebagai eloquent begitu. Jadi bukan sekedar fluent semata. Tak ketinggalan tentunya faktor penentu dari Kakekku tercinta yang baru saja almarhum yang bernama Fawzi Abdulrani yang mantan Duta Besar Indonesia Berkuasa Penuh dizaman Presiden Soeharto. Dato’ Fawzi – demikian kami memanggilnya sayang – adalah inspirasiku pertama dan utama. Berbahasa dengan santun serta ‘berisi’ dengan gesture tubuh (semiotika) yang berkelas ditambah semantika yang advance menjadi tuntunan sampai aku lulus dari FIB-UI awal tahun ini. Walau Dato’ Fawzi telah tiada, namun spirit kemampuan diplomasi dan keberbahasaannya tertanam subur didalam diriku. Proses internalisasi kemampuan berbahasa tersebut aku rasakan sebagai sedikit kemewahan hidup titipan Allah didalam kehidupanku didunia ini. Terimakasih banyak Ya Allah…

Menjadi Ibu Guru PAUD
Atas jasa beberapa teman mantan finalis Abang-None Jaksel kemarin, aku mendapatkan kesempatan menjadi ibu guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau aku sering mengungkapkannya sebagai Early Child Education. Aku sangat menikmati peran pada target hidup anatarku ini. Memang menjadi Ibu Guru PAUD bukanlah target akhir hidupku nanti. Ada entry point lain yang ingin kujajaki, yaitu menjadi anchor atau pembawa acara ditelevisi. Karenanya sekarang ini aku sedang serius melakukan persiapan memasuki wilayah FISIP-UI dijurusan Komunikasi. Aku sangat ingin menjadi ahli komunikasi. Kata banyak orang kalau aku berbicara dalam Bahasa Inggris baik dan benar, termasuk juga Bahasa Mandarin-ku bahkan walau belum terlalu lancar sebenarnya.

Disaat mengajar menjadi Ibu Guru PAUD, kesabaranku benar-benar terasah. Awalnya aku agak bingung juga menghadapi alam pikir bawah sadar para batita tersebut (bawah tiga tahun). Mereka seakan memiliki dunia tersendiri yang mungkin kupikir sulit untuk ditembus. Namun semakin lama dengan bertambahnya jam terbangku mengajar, aku semakin enjoy dan teramat-sangat menikmati pekerjaan pada target antaraku ini. Rupanya kesenangan mengajar rakyat yang termarjinalkan semacam kelompok masyarakat diffable tunarungu dari Ibu Icha – bahkan saya sering mengikuti Ibu Icha saat Pilkada Banten kemarin dikampung Mbah Yuya-ku di Lebak dan Pandeglang, Banten mengajar masyarakat miskin yang memakan nasi aking dengan berdoa dalam Bahasa Indonesia-Arab-Inggris. Uniknya, dengan kesabaran tinggi para ‘murid’ Ibu Icha tersebut mampu menyerap apa yang diajarkannya walaupun santai kesannya sembari bercanda namun sebenarnya fokus dan serius.

Ibu Icha dan Ayah Ikang serta seluruh keluarga besar Fawzi dan Haque adalah sinar matahari pagiku… inspirasiku yang sangat luar biasa… selamanya… sampai hayat dikandung badan. Apa yang telah mereka wariskan padaku, hari ini aku wariskan ulang kepada para murid-murid kecil-ramai-menyenangkan ini. Kata Ibu Icha itulah bakti kita kepada ummat dan Indonesia. Terimaksih Ibu Icha… terimakasih Ayah Ikang… terimakasih Dato’ Fawzi Abdulrani yang selalu kucintai…

Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahiiiiim..., alhamdulillahirrabilalamiiin…

Sumber: http://isabellamuliawatifawzi.blogspot.com/

The Literature's Path

Buku Kedua Marissa Haque diterbitkan oleh PT. ROSDA KARYA Bandung

Buku Kedua Marissa Haque diterbitkan oleh PT. ROSDA KARYA Bandung
Buku Kedua Marissa Haque diterbitkan oleh PT. ROSDA KARYA Bandung

My Love Ikang Fawzi, Ikang Fawzi, Marissa Haque, Isabella Fawzi in Sngapore.

My Love Ikang Fawzi, Ikang Fawzi, Marissa Haque, Isabella Fawzi in Sngapore.
My Love Ikang Fawzi, Ikang Fawzi, Marissa Haque, Isabella Fawzi in Sngapore.